12.11

Dj school

Istilah DJ ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan seorang peyiar radio yang akan memperkenalkan dan memainkan rekaman gramophone yang populer. Rekaman model ini, juga dikenal sebagai "cakram" dimana dalam industri ini dimainkan oleh peyiar-penyiar radio, oleh karena itu nama disc jockey dan selanjutnya lebih akrab dikenal sebagai DJs atau deejays. Sekarang karena berbagai faktor, termasuk musik yang dipilih, para pendengarnya, penyetelan kinerja, media yang digunakan dan perkembangan dari manipulasi suara, telah menghasilkan berbagai macam teknik DJ.

Dalam beraksi memilih dan memainkan rekaman suara untuk pendengar yang menginginkan adalah sama untuk setiap DJ. Musik yang dipilih, media yang digunakan, dan tingkatan kesempurnaan dari manipulasi suara adalah faktor-faktor yang membuat tipe DJ yang berbeda-beda.
Hal inilah yang menjadi alasan kemunculan sekolah-sekolah DJ di Indonesia khususnya Jakarta. Dengan maraknya animo para ABG (Anak Baru Gede, red) menyinggahi klub-klub untuk mencari hiburan, menginspirasikan Ali Mursidi untuk mewadahi para ABG tersebut. “Mereka tidak hanya menjadi clubbers, tapi juga bisa mencari penghasilan dengan menjadi DJ-salah satunya,” kata Ali yang juga melekatkan tulisan DJ di depan namanya.

Ia pun menambahkan, sekolah yang dibangun berdasarkan hobby ini, mulanya dilatarbelakangi ketidaksetujuan orang tuanya akan kebiasaanya yang sering ke klub-klub malam. Dengan berbagai pertimbangan, orang tuanya pun membelikan seperangkat peralatan teknik untuk seorang DJ seperti piringan hitam, CD, file MP3 dan sebagainya. “Klub kan biasanya di-image-kan tempat yang negatif, rawan narkoba, minum-minuman, ditambah lagi pergaulan yang bebas. Dari image tersebut, saya mencoba memberikan pandangan positif dengan mendirikan DJ School, dimana dari sini dapat memberikan kemudahan bagi para calon DJ untuk belajar secara serius. Intinya dengan adanya DJ School bisa menjadi media atau sarana bagi calon DJ untuk terjun langsung dan diperhitungan,” ungkapnya.

Di bawah label perusahaan Sound Of Zeus, sekolah DJ miliknya pun diberi nama United DJ School. Alasan pemilihan nama tersebut tak serta merta datang begitu saja, ia berkeinginan untuk menyatukan para DJ professional maupun calon DJ. Meskipun menyadari benar, bahwa bisnis yang digelutinya belum layak bagi kalangan tertentu apalagi yang masih tabu dengan hingar-bingar musik dan kerlap-kerlip lampu disko, Ali tetap optimis.
“Target dalam bisnis ini memang terbatas. Sekolah DJ khusus menarik minat bagi kalangan anak muda yang memang menyukai dunia gerlap malam dan ingin mencari penghasilan dari hobby yang dimilikinya. Tetapi, tak jarang pula para pelajar yang tertarik untuk menekuni teknik menjadi DJ yang baik dan benar. Bahkan, ada pula orang tua yang mengantarkan anaknya untuk latihan. Itu artinya, sekolah DJ mulai memiliki posisi bagus khususnya di dunia hiburan,” terangnya.

United DJ SchoolSeperti diakui Ali menanggapi tingkat persaingan bisnis mendirikan sekolah DJ, khususnya di Jakarta dirasakan masih jarang pemainnya. Meskipun, titik strategis ada di bilangan Jakarta Selatan, ia tak menampik memang ada beberapa pemain di bidang yang sama dengannya tetapi jumlahnya pun belum mencapai puluhan, bahkan untuk jumlah 10 pun rasanya belum terpenuhi.
“Jika dihitung-hitung paling hanya 4 di daerah Selatan, pusat titik hiburan. Salah satu dari jumlah tersebut pun sudah saling mengenal karena memang sudah sering ketemu di lapangan. Dengan minimnya jumlah sekolah tersebut yang memicu saya. Berhubung masih jarang pemainnya jadi pasti ada peluang kan,” akunya.

Beralamat di Ruko Ariss 99, Jakarta Selatan, pria yang juga memiliki pengalaman menjadi pembuka DJ internasional antara lain Steve Gerrald, Randi Katana, dan Kessen Tailler ini, mengaku menginvestasikan uang tidak lebih dari Rp 100 juta. Jumlah nominal tersebut ia gunakan untuk membeli peralatan teknik, penyewaan ruko dan lainnya. Untuk fasilitas sendiri, United DJ School memiliki studio bertingkat dua. Dengan ruang pelatihan terbagi tiga antara lain, dua ruangan digunakan untuk pelatihan dasar dan satu ruang dimanfaatkan sebagai tempat recording. Serta sarana lain yang turut mendukung.

Memiliki kurang lebih sepuluh siswa dan didukung empat pengajar dengan background DJ pula, Ali pun memasang harga Rp 1,5 juta per bulannya. Metode pembelajaran pun sifatnya menggabungkan antara teori dan praktek. Umumnya, teori yang diberikan bersifat pengetahuan seputar musik seperti istilah elemen musik, penggabungan musik maupun teknik dasar memainkan peralatannya. Sedangkan untuk prakteknya, biasanya siswa sudah mulai bereksperimen menggabungkan dua atau lebih elemen musik menjadi satu paduan sesuai karakternya.

“Untuk lulusannya sendiri pun disalurkan. Tetapi sebelum itu, ada istilah Praktek Kerja Lapangan (PKL), jika ada job manggung untuk saya atau pun pengajar dalam waktu empat jam, maka sisa waktu satu jam diberikan kepada siswa yang memang layak go public. Ini pun untuk melatih mental mereka di hadapan pengunjung, terkadang ada yang jago mix dan punya karisma tetapi belum tentu hal itu berlaku ketika terjun langsung,” paparnya yang menargetkan 60% all about DJ dan 40% mental bagi siswanya.

Pria kelahiran 13 Juni 1971 ini pun mengungkapkan, ketika timbul pertanyaan ‘Apakah profesi DJ menjanjikan?’, ia pun mengilustrasikan- jika dengan biaya Rp 1,5 juta per bulan, biasanya untuk manggung DJ baru bertarif Rp 500 ribu per dua jamnya, maka dapat dihitungkan berapa biaya akan kembali. Keuntungan lain, jika sudah punya ‘nama’ maka tarif pun akan berlipat-lipat ganda bahkan bisa mencapai Rp 10 juta sekali tampil ditambah banyaknya event-event yang memakai jasa DJ untuk memeriahkan acara. Tampaknya, sekolah maupun profesi DJ patut dilirik.

BELUM ADA JUDUL

A